Sekelumit Opini Tentang Media Dakwah (Part 1)

Oleh: Fauzan Al-Asyiq

Sejak dahulu, jaminan kesejahteraan umat di dunia dan di akhirat ada pada konsistensi dakwah Islam yang berjalan saat itu. Dakwah itu sendiri berarti ajakan kepada kebaikan. Sesuai namanya, Islam merupakan jalan keselamatan bagi pemeluknya. Perintah pertama untuk berdakwah jatuh kepada Nabi Nuh. Seiring berjalannya zaman, tampaknya cara berdakwah pun ikut berkembang. Sampai masuk pada zaman hijriyah, Rasulullah SAW mendefinisikan dakwah bukan hanya berbentuk komunikasi lisan satu arah macam khutbah dan ceramah. Tapi mempunyai lingkup lebih luas. Beliau membagi dakwah menjadi 3 macam. 

Pertama, dakwah bil lisan. Dakwah dengan lisan. Inilah cikal bakal dakwah yang paling sederhana, dimana Rasulullah pertama kali berdakwah dengan cara ini. Pada awalnya, beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi (sirriyah), kemudian melanjutkannya dengan terang-terangan (jahriyah). Dewasa ini, metode dakwah seperti ini sering disebut dengan khutbah atau ceramah. 

Kedua, dakwah bil af’al. Dakwah dengan perbuatan. Metode ini muncul berdasarkan firman Allah pada surat Ash-Shaf: 3, yang berbunyi, “Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu berbuat.”, inilah tahap setelah dakwah bil lisan berhasil, dimana apa yang dikatakan semestinya sesuai dengan perbuatan. Beberapa pendapat menyatakan, metode dakwah inilah yang paling sulit karena pada dasarnya memberikan contoh itu mudah, tetapi menjadi contoh itu sulit.
Dakwah bil af’al ini juga merupakan interpretasi dari salah satu firman Allah yang berbunyi “Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125), pelajaran yang baik disini bisa ditafsirkan sebagai uswah hasanah (suri tauladan). 

Ketiga, dakwah bil kitabah. Dakwah dengan tulisan. Sekilas tampak mudah, tapi jika ditangani dengan tepat, dampaknya bisa lebih dahsyat dari kedua tipe dakwah lainnya. Beberapa ulama yang masyhur berdakwah dengan metode ini antara lain Sayyid Qutub, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Kholdun, dan Abu Nawas dengan syair-syairnya. Dikancah nasional, ada Bung Hatta yang lebih ditakuti penjajah saat memegang pena ketimbang memegang senjata. Dulu, metode dakwah ini jamak dikenal dengan dakwah bil qolam (dakwah dengan pena), namun kini realitanya lebih banyak orang yang menulis dengan komputer (baca: mengetik), sehingga sebutan dakwah bil kitabah dinilai lebih kontemporer. Menyangkut dakwah bil kitabah ini Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada”. Ini dikarenakan keuntungan dakwah model ini adalah manfaatnya tidak akan musnah meski sang da’i, atau penulisnya sudah wafat. 

Ketiga metode dakwah diatas punya satu kesamaan. Yaitu sama-sama membutuhkan satu aspek yang penting agar semuanya bisa terlaksana. Aspek apakah itu? Aspek tersebut tak lain adalah media. Ya, tanpa media, mustahil semuanya bisa terlaksana. Dakwah bil lisan medianya mulut, dakwah bil af’al medianya perilaku dan perbuatan, dakwah bil kitabah medianya tulisan. Sejak dulu media telah menjadi salah satu aspek penting dalam jalannya dakwah. Bahkan, wahyu yang disampaikan Allah melalui malaikat Jibril ternyata juga bisa disebut sebagai media komunikasi teologis. Menurut Mahfudh Shalahuddin (1986), Pendidikan Agama Islam mengajarkan ada dua landasan penggunaan media. Landasan pertama adalah dasar religius. Dalam ayat Al-Qur’an yang dikutip diatas (An-Nahl: 125), terdapat kata ‘hikmah’. Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar (juz III) mengartikan kata hikmah dengan “Alasan-alasan ilmiah dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal (Humaidi, 1974). Inilah poin-poin religius yang mestinya ada dalam sebuah media; ketegasan, kebenaran, jelas, adil, dan dapat dibuktikan. Beberapa poin yang agaknya sulit ditemukan dalam media dewasa ini.

Comments

Popular posts from this blog

Selangkah Menuju Harapan

Mengenal Seorang Agung Baskoro