Posts

Review Kuliner: Warung Sambel Welut Pak Sabar (Yogyakarta)

Image
Pesona Si Kulit Licin nan Bergizi Oleh: Fauzan Al-Asyiq Tidak semua orang suka mengkonsumsi hewan yang satu ini. Berbadan panjang tanpa kaki. Bagi orang yang tak pernah bertandang ke pedesaan, mungkin akan mengira makhluk ini sejenis ular. Nyatanya bukan. Belut, hewan ini biasa dipanggil, sama sekali tidak bersisik layaknya hewan melata tersebut. Badannya cokelat kehitaman dan licin, bermata kecil dan mulut menyerupai ikan. Habitat alaminya sawah dengan perairan yang memadai. Meski terkesan aneh, belut sudah sejak lama menjadi makanan favorit banyak orang. Selain dagingnya yang gurih, tulangnya pun tidak berduri tajam dan lebih lunak jika dibandingkan dengan tulang ikan. Belum lagi kandungan gizi didalamnya. Belut terkenal dengan tingkat proteinnya yang tinggi. Sehingga tidak jarang negara maju seperti Jepang bahkan mengimpor jutaan belut dari hasil peternakan Indonesia. Meski menjadi salah satu komoditi ekspor nasional, tidak banyak warung makan yang menyediakan menu belut

Review Kuliner: Bakmi Si Bisu/ShiBitshu (Yogyakarta)

Image
Bakmi yang Membisukanmu Oleh: Fauzan Al-Asyiq Masakan bakmi jawa selalu menjadi ciri khas kuliner Jawa Tengah danYogyakarta. Berbeda dengan mi instan, bakmi jawa yang sama-sama bisa digoreng maupun rebus, mempunyai rasa yang berbeda. Terkesan manis dan wangi. Ada ribuan pedagang bakmi jawa yang bisa ditemukan dipinggir jalan, kolong jembatan, maupun restoran bintang lima. Namun, hanya segelintir yang rasanya benar-benar mampu membuat saya terbisu, khusyuk menikmati suap demi suap bakmi yang tersaji hangat beruap.  Bakmi tersebut ialah bakmi Si Bisu atau sesuai yang tertulis di kaca gerobaknya, Shibitshu, warung bakmi sederhana yang berlokasi di Jalan Bantul (sekitar 100 meter utara Pasar Satwa Jogja). Jangan tertipu dengan bentuk warungnya yang sangat tradisional. Hanya gerobak berhias 2-3 meja besar dengan sekian hamparan tikar lusuh. Tapi jangan salah, setelah pukul 9 malam, warung tersebut dipastikan seakan menghilang tertelan pemandangan puluhan motor dan mobil yang be

Penyakit Idaman yang Mencerdaskan (Part 2: End)

Image
Oleh: Fauzan Al-Asyiq Mengenai sisi emosionalnya, para pengidap LLI cenderung mampu mengendalikan mood mereka dan menjaganya tetap stabil, bahkan dalam keadaan tertekan sekalipun. Kebanyakan orang mungkin kurang bisa menjaga mood lantaran kondisi lingkungan dan sugesti orang lain (termasuk dirinya sendiri) yang terus terngiang-ngiang seperti suara yang berbicara didalam kepala mereka. Pengidap LLI hampir tidak pernah mengalami hal ini karena kontrol pikiran sepenuhnya berada dalam alam sadar mereka. Sayangnya, kondisi seperti ini justru berimbas pada pembawaan sang pengidap. Ekspresi mereka cenderung datar dan agak kurang bisa bersimpati terhadap keadaan orang lain. Meski bisa dibilang pengidap LLI mempunyai sedikit 'keistimewaan' dibanding manusia normal pada umumnya, bukan berarti mereka tak punya sisi humanisme yang dikorbankan. Satu kekurangan yang dimiliki pengidap LLI ialah ia kesulitan mengungkapkan apa yang ada dipikirannya, terutama melalui komunikas

Penyakit Idaman yang Mencerdaskan (Part 1)

Image
Oleh: Fauzan Al-Asyiq Dalam sebuah sudut penjara di bilangan Illinois, Amerika Serikat, seorang pria terlihat mengendap-endap penuh waspada. Ia tengah bersembunyi dibalik rak besi yang berisi dokumen para tahanan yang disekap ditempat tersebut. Pria berkepala plontos itu merencanakan sebuah pelarian unik untuk melepaskan kakaknya, Lincoln Burrows dari jerat hukuman mati karena sebuah kasus berbahaya. Mata pria yang bernama Michael Scofield ini terus menatap sebuah kotak besi yang terletak 5 meter persis didepan batang hidungnya. Diatas kotak itu ada 9 tombol yang bertuliskan angka-angka, semacam kunci pengaman berpassword untuk mencegah orang yang tak diinginkan masuk ke lorong yang tak lain adalah sel tahanan. Tak berapa lama, seorang sipir penjara datang dan menekan beberapa angka kombinasi, lalu masuk begitu saja. Michael tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sambil membawa segenggam debu, ia bergerak mendekati kotak besi tersebut. Dengan satu tarikan nafas, ia lantas meni

Embracing an Early Sunshine

Image
Oleh: Fauzan Al-Asyiq Mendaki setinggi hampir 3.000 meter ternyata tidak mudah. Tanpa peralatan dan fasilitas memadai ala film 5 cm, menapaki satu persatu batuan disekujur badan Merapi bahkan terasa semakin berat bagi saya yang berkacamata. Tak terhitung berapa kali saya harus mengelap lensa yang berembun terkena hembusan napas dingin yang keluar dari mulut yang tertutup masker. It's extremely painful . Belum lagi sepatu pinjaman jebol sesaat sebelum mencapai puncak. Mungkin jika saya lanjutkan, daftar keluhan yang saya alami tidak akan cukup sampai bawah. But that's it. No pain no gain. I would rather suffer more and more when I knew my pain would be paid off by the time I stepped my feet at the top, embracing the early sunshine, believing in the beauty of God's creation. Setiap 23 September, untuk mengenang kelulusan dari sebuah lembaga pendidikan di Ponorogo, saya selalu melakukan sesuatu yang bisa dibilang challenging , menantang. Setelah 3 tahun silam saya mend

Jidatmu Identitasmu (Part 2: End)

Image
Oleh: Fauzan Al-Asyiq Semua Hal-hal tersebut seakan menjadi barcode khusus yang membedakan mereka dari produk-produk lain dipasaran. They just stand out among the others . Not in the good way, but in the very distinctive one.  Fakta inilah yang membuat saya (mungkin beberapa orang juga berpikiran sama) menjadi stereotype—hanya pada kaum tersebut diatas. Diluar, kami memang bebas dan terpisah untuk terjun ke ranah perjuangan masing-masing, namun sebenarnya ada benang merah yang dengan mudah mampu manyatukan kami kembali: kemampuan untuk mengenali kaum kami sendiri. Kalimat saya sebelumnya tolong jangan dinilai diskrimnatif. Saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Saya hanya sulit menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menerjemahkan apa yang ada diotak saya saat ini. :) Sudah tak terhitung berapa kali saya bertemu teman satu sekolahan saya diluar. Mau masih nyantri ataupun yang sudah beranak cucu, yang kenal maupun yang belum pernah ketemu.

Jidatmu Identitasmu (Part 1)

Image
Oleh: Fauzan Al-Asyiq  Siang itu saya sedang bersantai sembari berjaga di toko ketika 2 orang remaja putri datang untuk menanyakan tersedia atau tidaknya sebuah buku yang mereka cari. Melihat dari busananya, tak heran mereka mencari buku tersebut. Keduanya mengenakan jilbab lebar menutupi bahu, baju panjang diilengkapi rok gelap, tak lupa berkaos kaki. Saya tersenyum. Tipe-tipe busana seperti ini sangat tidak asing. Bukan yang sering saya pakai tentunya. Hanya saja ketika melihat perempuan berbusana demikian, atau laki-laki bercelana kain lebar, dandanan necis berbaju rapi, saya merasa mereka dan saya setidaknya pernah dibesarkan dalam satu lingkungan yang sama: Pesantren.  Ah, tadinya saya hendak menulis cerita lucu tentang buku yang mereka cari, tapi mari kita simpan sejenak hikayat tersebut.  Pendidikan nonstop 24 jam dalam lingkungan pesantren memang mencakup segala aspek. Dari terkecil hingga terbesar. Dari mulai bangun tidur hingga mata kembali memejam. Para santri